Sunday, February 1, 2009

Sabar itu tidak ada batasnya

Kita sering mendengar kalimat "Kesabaran itu ada batasnya".
Tapi sesungguhnya sabar itu tidak ada batasnya, kalo ada batasnya maka itu bukanlah sabar.

Sering kita menaruh dendam pada orang lain karena merasa disakiti, kemudian ingin membalas perlakuan orang tersebut.
Kita tidak sadar bahwa dendam itu tidak ada gunanya dan membalas dendam itu adalah perbuatan sia-sia.
Sekalipun kita bisa membalaskan dendam, hal buruk yang telah terjadi pada kita tidak akan berubah.
Pembalasan dendam yang susah payah dilakukan ternyata tidak mengubah apapun.
Yang lebih parah adalah dendam dan pembalasan dendam membuat kita menjadi sama atau bahkan lebih buruk daripada orang yang terlebih dahulu menyakiti kita.

Bila ada yang menampar pipi kananmu, maka berikanlah pipi kirimu...jika orang yang menampur manusia maka dia akan menyesali perbuatannya.
Berbeda dengan jika ada yang menampar pipi kananmu, lalu kau membalas tamparannya...maka yang terjadi adalah kebencian yang lebih dalam lagi.
Melawan api dengan api tiada guna.

Sabar itu tidak ada batasnya.

Wednesday, January 28, 2009

Anak malas bukan berarti bodoh

Ini adalah kisah nyata seorang teman yang super malas.

Dia sangat phobia dengan membaca dalam bentuk apapun, kalau baca tulisan agak panjang sedikit langsung pusing.
Jika dilihat dari perjalanan pendidikannya, betul-betul aneh tapi nyata sekali.
Dia baru bisa membaca dengan lancar saat kelas 3 SD, tapi dia selalu jadi juara kelas sejak kelas 1 SD.
Yang bikin heran adalah jika baru bisa baca saat kelas 3 SD, lalu waktu kelas 1 dan kelas 2 SD nya bagaimana mungkin dia bisa jadi juara kelas??



Bisa membaca bukan berarti suatu kemajuan dalam hal belajar, walaupun sudah bisa membaca tetapi alerginya terhadap membaca terus berlanjut.
Alhasil semua buku-buku pelajarannya selalu mulus dan bagus terus, begitu ujian akhir bukunya langsung rusak parah.
Ternyata dia menerapkan pola belajar 3 jam sebelum ujian untuk menghabiskan semua materi di buku tersebut.
Gila memang kedengarannya, tapi pola belajar seperti itu sangat efektif hingga dia kuliah.
Nilai-nilai akademiknya bisa dibilang cukup memuaskan untuk effort yang sangat rendah.

Yang ajaibnya lagi adalah waktu dia kuliah, dia mengerjakan Tugas Akhir hanya dalam waktu 3 minggu saja.
3 minggu ini dihitung dari mulai awal bimbingan sampai dia sidang sarjana.
Yang lebih ajaib lagi adalah bahkan dosen-dosen pengujinya tidak memahami materi tugas akhirnya, sampai dia ditawari untuk menulis jurnal tentang tugas akhirnya.
Sementara mahasiswa lain harus merevisi tugas akhir di sana sini, dia hanya merevisi judul dari tugas akhirnya.
Lucunya, sebenarnya dia sendiri kurang menguasai topik tugas akhirnya, dia membuat tugas akhirnya itu karena tuntutan dosen pembimbingnya agar tugas akhirnya lebih bagus daripada anak pasca sarjana.

Kalau saya mendengar cerita teman saya ini benar-benar lucu dan susah untuk percaya bahwa ini adalah kisah nyata yang benar-benar terjadi.

Intinya adalah sebenarnya semua orang memiliki potensinya masing-masing.
Jadi jangan khawatir jika memiliki anak atau saudara yang sangat malas belajar atau bahkan mungkin phobia membaca seperti teman saya itu.
Karena malas bukan berarti bodoh, hanya kurang motivasi saja.
Atau mungkin merasa bosan karena dianggap tidak menantang.


*Nunu*

Monday, January 26, 2009

Tingkat Kedewasaan Anak

Kedewasaan seseorang tidak ditentukan oleh faktor usia.
Namun faktor usia inilah yang menentukan banyaknya peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang, baik itu peristiwa menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan.
Sebagian besar orang lebih cepat mendapatkan pembelajaran hidup dari peristiwa yang tidak menyenangkan dalam hidupnya.
Dan orang yang lebih cepat dewasa adalah orang yang bisa mengambil hikmah dari semua peristiwa dalam hidupnya.

Ada 3 hal yang bisa dijadikan ukuran dari kedewasaan seseorang :
1. Sikap. Tahu bagaimana cara menyikapi suatu masalah yang dihadapi, memiliki simpati dan empati terhadap orang lain dan lingkungannya, menghargai dan menghormati orang lain, dll.
2. Sifat. Senantiasa mengendalikan diri dan bersikap tenang tanpa emosi yang meledak-ledak, tidak egois, sabar, mandiri, dll.
3. Tanggung jawab. Bertanggung jawab dan mampu menerima konsekuensi dari tindakannya.

Ketiga hal tersebut adalah beberapa kriteria yang menunjukkan kedewasaan seseorang. Namun yang paling penting dari suatu kedewasaan adalah bagaimana dia bisa survive dalam menghadapi masalah seburuk apapun dalam hidupnya.

Menurut pengamatan saya, jika kita membandingkan antara anak jalanan dan anak mami yang orang tuanya over protektif. Maka walaupun mungkin anak mami tersebut bisa menjadi orang yang besar, tapi belum tentu dia bisa menjadi orang yang dewasa dan mandiri. Berbeda dengan anak jalanan yang selalu mandiri dan dewasa, meskipun usianya baru 7-12 tahun bisa jadi pola pikirnya seperti orang berusia 20-30 tahun.

Mengapa demikian?
Karena sebagian besar orang belajar dari peristiwa buruk yang dia alami, dan anak jalanan sejak kecil sudah bersahabat dengan peristiwa buruk dan kerasnya kehidupan yang sebenarnya. Berbeda dengan anak mami yang hampir tidak pernah mengalami peristiwa buruk karena dia selalu berada di bawah lindungan ketiak orang tuanya, anak ini akan lebih lambat proses pendewasaannya. Berdasarkan pengamatan secara sederhana saja, anak mami ini sebagian besar tumbuh menjadi anak yang egois dan kurang memiliki simpati dan empati kepada orang lain, karena baginya semua hal di dunia ini sangat mudah dihadapi karena ada orang tuanya. Tapi begitu dia "jatuh", maka anak mami ini bisa hancur secara mental.

Jika orang tua ingin anaknya dewasa, maka lepaskanlah anak itu tapi tetap diawasi dan dibimbing. Jika orang tua terus menerus menggenggam anaknya, sampai tua pun anaknya tidak akan dewasa.

Mungkin banyak yang tidak sependapat dengan pemikiran saya ini, namun itulah yang saya dapatkan berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya selama 23 tahun. Tiap orang memiliki pengalaman dan pengamatan yang berbeda-beda, wajar saja jika pemikirannya berbeda-beda.


*Nunu*

Anak Adalah Titipan Tuhan

Semua orang pasti tahu mengenai kalimat : Anak adalah titipan Tuhan.
Namun, sebagian besar tidak memahami arti kalimat itu sendiri.
Ironisnya banyak orang yang mengaku sebagai seorang agamis namun tidak memahami arti ungkapan tersebut.

Anak adalah titipan Tuhan, oleh karena itu sebagai orang tua berkewajiban untuk menjaga dan merawat titipan tersebut dengan sebaik mungkin. Mulai dari mengandung, melahirkan, merawat, membesarkan, dan mendidik anak adalah kewajiban dan tanggung jawab dari orang tua. Oleh karena itu orang tua sudah semestinya mencintai titipan Tuhan tersebut dengan tulus dan tanpa pamrih. Itulah makna mengapa cinta orang tua harus tanpa pamrih, karena anak adalah titipan Tuhan...BUKAN MILIK orang tua.


Saya sangat menyukai kalimat yang diucapkan oleh seorang instruktur training saya yang juga secara tidak langsung orang tua saya mengucapkan hal yang maknanya serupa dengan kalimat ini.
Jika diibaratkan anak itu pesawat terbang, maka tugas orang tua adalah untuk sedemikian rupa agar landasan pesawat terbang itu bagus dan mulus agar pesawatnya bisa terbang tinggi dengan lancar.

Anak itu titipan Tuhan, selangkah dia keluar dari rumah maka orang tua harus merelakan anaknya pergi. Anak itu titipan Tuhan, maka orang tua tidak berhak memiliki anak karena orang tua bukan pemilik anak tapi orang yang dititipi oleh Tuhan untuk merawat dan menjaga anak itu.

Ada contoh kasus yang mungkin sering terjadi dalam suatu keluarga.
Karena tidak memahami konsep anak sebagai titipan Tuhan, orang tua sering bersikap over protektif dan mengharuskan anaknya menjadi seperti yang dia harapkan. Jika anak itu melawan atau membangkang, orang tua akan mengungkit-ungkit semua budinya ke anak dari mulai mengandung 9 bulan, merawat dari kecil, mendidik, dll.
Itu kah yang namanya orang tua?
Bukan, orang tua bukan pemilik dari anaknya walaupun mengandung, melahirkan, membesarkan, dll. Orang tua hanyalah orang yang diberi titipan oleh Tuhan. Oleh karena itu orang tua tidak berhak untuk menuntut anaknya dan tidaklah pantas untuk mengungkit-ungkit budinya pada anak. Karena itu adalah suatu bentuk kewajiban dan tanggung jawab sebagai orang tua, oleh karena itu cinta orang tua pada anak semestinya tanpa pamrih. Itu adalah resiko dari orang tua saat dia menginginkan memiliki anak.
Anak bukanlah robot yang bisa dengan sesuka hati dimainkan oleh orang tua.

Karakter anak itu ditentukan oleh 2 faktor yaitu genetika dan lingkungan. Namun faktor lingkunganlah yang sangat menentukan karakter anak tersebut. Oleh karena itu, jika seorang anak dibesarkan oleh orang tua yang over protektif maka karakternya adalah persis sama dengan karakter orang tuanya. Dia tidak akan berkembang sebagai generasi yang lebih baik daripada orang tuanya. Anak ini juga akan sangat ketergantungan pada orang tuanya, semua keputusannya tergantung pada instruksi orang tuanya.
Lalu apa arti suatu kedewasaan???
Seorang anak yang sudah berusia 17 tahun itu berhak memiliki KTP karena dianggap sudah dewasa. Dewasa itu artinya dia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta mampu independen dalam hidup maupun dalam bersikap. Namun sebagian besar orang tua terus menganggap anaknya tidak dewasa padahal mungkin usianya sudah mencapai 30 tahunan.
Terus sampai kapan anaknya akan dewasa jika orang tua terus memperlakukan anaknya sebagai robot yang dimilikinya?

Ada 2 pilihan mengenai masa depan seorang anak yang orang tuanya over protektif :
1. Sukses menjadi orang yang sesuai dengan keinginan orang tua, namun sangat ketergantungan pada orang tuanya. Anak tidak dapat membuat keputusannya sendiri, karena semua keputusannya adalah berdasarkan instruksi orang tua. Apakah ini anak ideal yang diinginkan orang tua yang baik?
2. Anak membenci orang tuanya. Ini kemungkinan yang terburuk, yaitu anak kabur dari orang tua yang terus berusaha memilikinya dan menjadikannya robot.

Orang tua yang baik adalah orang tua yang memberi kebebasan kepada anaknya namun tetap mengawasi dan membimbing.
Anak bukanlah MILIK orang tua, tapi anak adalah TITIPAN TUHAN yang harus dijaga dan dirawat dengan baik.
Jangan pernah mengungkit-ungkit budi baik orang tua terhadap anaknya di masa lalu, karena cinta orang tua haruslah tanpa pamrih. Orang tua membesarkan anak dengan cinta adalah suatu kewajiban dan tanggung jawab, resiko yang harus ditanggung seseorang yang menjadi orang tua. Kalau dia mengungkit-ungkit budi baiknya pada anaknya, dia bukanlah orang tua tapi lebih mirip seperti seorang raja yang menuntut rakyatnya untuk membalas kebaikan raja dengan menuruti semua keinginan sang raja. Resiko yang harus dijalani seseorang yang menjadi orang tua adalah mencintai tanpa pamrih dan tidak bisa memiliki. Karena sekali lagi, anak bukanlah milik orang tua melainkan titipan Tuhan.

Kalau tidak mau repot dan rugi, kenapa punya anak?
Anak tidak pernah minta untuk dilahirkan ke dunia.

Kalau tidak mau merawat anak dengan penuh cinta tanpa pamrih, kenapa buat anak?
Anak tidak pernah minta untuk dilahirkan ke dunia.

Bagi orang tua dan calon orang tua, sadarlah anak adalah TITIPAN TUHAN yang harus dirawat dengan penuh cinta. Tidak peduli anak itu berasal dari rahimmu yang kau kandung selama 9 bulan dan kemudian kau rawat sampai besar, dia tetap BUKAN MILIKMU.
Biarkan anakmu menjadi manusia yang seutuhnya, jangan jadikan dia robot milikmu yang bisa kau kendalikan sesuka hatimu.


*Nunu*

Friday, January 23, 2009

Anak Jalanan Surabaya

Surabaya, kota metropolitan terbesar kedua setelah Jakarta.
Namun banyak hal yang menjadi poin plus surabaya dibandingkan Jakarta :
1. Matahari terbit lebih awal (yaeyalah...*dongdong mode on*)
2. Walau jalanan penuh dengan kendaraan bermotor, namun macet di Surabaya itu masih bisa bergerak, sangat berbeda dengan Bandung atau Jakarta yang definisi macetnya adalah diam total dan jalan merayap.
3. Pagi, siang, sore, malem panas terus...bahkan gak ada matahari pun panas minta ampun.
4. Tingkat kemakmuran disini sangat luar biasa. Nyaris tidak ada gelandangan maupun anak jalanan di jalan-jalan protokol dan emperan mall.


Sangat berbeda dengan kondisi jalanan dan emperan mall di Bandung maupun Jakarta, di Surabaya sangat susah menemukan keberadaan anak jalanan. Padahal kalo ke Bandung atau Jakarta, cari aja di lampu merah atau emperan mall. Yang paling memprihatinkan adalah anak-anak jalanan di Jalan Merdeka Bandung, yang tidur bergeletakkan di jalanan depan BIP.
Sungguh luar biasa walikota Surabaya.

Geser sedikit ke daerah pinggiran Surabaya...
Sidoarjo kabupaten yang terkenal dengan lumpurnya.
Walaupun publik mengenal dengan julukan lumpur, namun jika dibandingkan antara Bandung dan Sidoarjo...secara kasat mata saja terlihat bahwa Sidoarjo lebih makmur daripada Bandung.
Jalan besar-besar (bahkan gang di Sidoarjo bisa masuk 1 mobil+2 motor), bersih dan sangat rapih (trotoar jalan seperti plasa...bener2 bikin nyaman pedestrian), Bandara Internasional Juanda bukan di Surabaya tapi di Sidoarjo, dan yang pastinya potret gelandangan dan anak jalanan yang sangat jauh berbeda dengan Bandung dan Jakarta.
Sama seperti Surabaya, sulit sekali mencari tempat di mana anak jalanan dan gelandangan.
Sidoarjo ==> Sido = jadi, arjo = kaya. Sesuai dengan namanya, memang sidoarjo kaya.

9 bulan saya tinggal di Sidoarjo dan 1 bulan ini di Surabaya.
Benar-benar kota super panas yang sangat luar biasa potret jalanannya.
Walikota Surabaya dan Bupati Sidoarjo patut diberi acungan jempol karena kesenjangan sosial di sini tidak ekstrim seperti Bandung apalagi Jakarta.


*Nunu*

Sunday, January 18, 2009

VISI MISI DAN TUJUAN YAYASAN



VISI

Sebagai organisasi sosial mandiri yang berperan aktif terhadap kepedulian perbaikan kesempatan bagi masyarakat miskin khususnya anak terlantar dalam menikmati hidup dan pendidikan yang optimal, ikut berperan serta dalam mewujudkan tatanan sosial masyarakat miskin agar lebih dapat berdaya guna dan sejahtera.
Menjadikan yayasan Cahaya Harapan sebagai organisasi sosial nonprofit yang kuat, kredibel, dan diakui seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dimana anak-anak merasa dicintai, dididik, dibina, cinta pada sesama, mandiri, dan bertanggung jawab.



MISI

-Meningkatkan kualitas kehidupan sosial
-Meningkatkan harkat, derajat, dan martabat manusia
-Membina dan membimbing anak-anak terlantar agar memiliki masa depan yang lebih baik
-Meningkatkan kualitas pendidikan dan produktivitas anak-anak terlantar menuju kemandirian



TUJUAN

-Mendirikan panti asuhan untuk anak-anak terlantar
-Menerima, membina, dan mendidik anak-anak dengan penuh kasih sayang
-Memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anak-anak
-Menumbuhkembangkan anak menjadi sehat, cerdas, dan bahagia
-Menanamkan nilai-nilai cinta kasih antar sesama sehingga anak-anak memiliki rasa syukur dan budi pekerti yang luhur
-Memenuhi pendidikan dasar dan lanjutannya sesuai dengan bakat anak
-Menumbuhkembangkan rasa percaya diri agar anak dapat berprestasi di bidang akademik, seni, dan olahraga
-Menanamkan rasa kepedulian anak terhadap lingkungan di sekitarnya